Wanita
cantik itu menuruni anak tangga dengan hati-hati. Tangan kanannya memegang tas
mewah kelas satu, gaunnya buatan perancang busana nomor satu di negeri ini
melekat indah ditubuh seksinya. Pulasan make up tebal mempertegas
kecantikannya. Tatapan matanya sarat akan rasa percaya diri yang tinggi dan
sedikit angkuh. Kanaya tersenyum cantik saat melihat suaminya berdiri di ujung
anak tangga terakhir. Kanaya merangkul lengan suaminya dan bergegas pergi. Erick menatap istrinya penuh bangga, kecantikannya yang selalu dibangga-banggakan
Kris didepan keluarga dan teman-teman kerjanya. Erick mengenal kanaya di
Bandung, saat menjamu relasi bisnisnya di sebuah restaurant. Bagi Erick itu
adalah cinta pada pandangan pertama dan mati-matian kris mengejar cinta Kanaya.
Kanaya
“Sial
banget sih gue hari ini.. Arrgh! Dasar sepatu murahan! Monyeet…!” teriak Kanaya
saat sebelah hak sepatunya rusak. Sepanjang perjalanan menuju kost Kanaya terus
menerus menggerutu.
Bagi
Kanaya sepanjang hari dalam hidupnya adalah perjuangan. Berjuang untuk bisa
makan dan mencari kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu hanya bisa dinikmati dengan
uang, siapa yang memiliki uang banyak maka hidupnya akan bahagia itulah yang
selalu tertanam dihatinya. Uang. Lord of Money.
Untuk
membiayai kuliahnya Kanaya bekerja sebagai penyanyi kafe, wajah cantik membuatnya
menjadi diva kafe dan ini lah yang menjadi kecemburuan rekan kerja sesame
penyanyi kafe. Kanaya selalu mendapatkan tips paling besar dari pengunjung yang
sering memesan lagu padanya. Pernah suatu hari temannya tersebut melabrak
kanaya yang sedang bersia-siap pulang. Dan Kanya bukanlah gadis lemah yang
hanya mampu menangis saat di Bully.
Plaak!
“lu
pikir Cuma lu doang yang bisa main kasar” bentak Kanaya.
“DASAR
JABLAY..”
Jika
semenit saja mereka dibiarkan berkelahi tanpa ada yang melerai entah apa yang
akan terjadi. Saling jambak dan saling mencakar adalah kemampuan wanita dalam
berkelahi dan efek setelah itu akan jauh lebih mengejutkan.
Dengan
langkah gontai Kanaya melangkah menuju kamar kostnya, pandangan sebelah mata
yang selalu diterima Kanaya adalah resiko dari seorang pekerja malam. Sindiran
dari sesama penghuni kos pun sudah jadi hal biasa dalam kesehariannya. Ayam
kampus, wanita jalang, wanita penghibur, pelacur hanya kata-kata melecehkan
yang selalu Kanaya terima.
Terlahir
entah dari keluarga seperti apa Kanaya pun sama sekali tidak mengetahui asal
usulnya. Dia dibesarkan di panti asuhan dari usia 5 tahun hingga tamat SMA,
tidak ada keterangan apapun dari pihak panti mengenai asal usul kelahirannya.
Setelah itu Kanaya memutuskan untuk hidup mandiri, berbekal beasiswa yang
diterimanya di universitas Indonesia Kanaya memberanikan diri merantau ke
Jakarta. Orang desa seperti Kanaya tidak pernah tahu kalau kehidupan di Jakarta
jauh lebih keras dibanding kehidupan di panti. Ditipu, direndahkan karena
berasal dari sebuah panti asuhan, anak beasiswa yang selalu dibelakangkan oleh
pihak kampus, semua menjadi tempaan mental bagi Kanaya.
Perlahan
namun pasti Kanaya pun menjadi pribadi yang keras, gadis desa itu berubah
menjadi wanita berambisi. Dalam hatinya selalu tertanam untuk menaklukan
Jakarta.
***
Angin
malam yang dingin berhembus pelan masuk kedalam kamar kos kanaya, membelai
lembut wajahnya, kamar yang dingin, tubuh yang kedinginan tapi hanya hati
Kanaya yang hangat. Kanaya melirih ponsel dalam genggamannya tidak ada
pemberithuan dilayar ponselnya. Nama yang Kanaya harapkan mampu memberinya
kehangatan tidak juga muncul. Hatinya merindukan cintanya, sudah 4 hari Arya
tidak memberi kabar padanya.
“Nggak
usah tunggu-tunggu kabar dari cowok lu lagi Nay”
“Tika
nggak usah mulai lagi deh, gue capek mendingan lu balik aja ke kamar lu sana!”
Tika
menghampiri kanaya, melihat sahabatnya lebih dekat. Sisa perkelahian di kafe
tadi masih kentara. Kanaya memalingkan wajahnya saat tangan Tika mencoba
memegang wajahnya.
“Lu
berantem lagi? Udah cukup Nay lu hidup kaya begini lu..”
“BERHENTI!!”
bentak Kanaya menghentikan kalimat yang sudah Kanaya hafal akan dilontakan
sahabatnya ini.
Kejadian
seperti ini sudah sering terjadi dan itu membuat teman-teman terdekatnya
prihatin tapi seprihatin apapun seorang teman tidak akan pernah berguna kalau
orang itu justru malah tidak peduli pada dirinya sendiri. Nasehat
teman-temannya hanya seperti angin lalu yang berhembus pelan dan tidak ada
artinya.
“Ok
gue bakal pergi, gue Cuma pengen kasih tahu lu kalau Arya lagi dicari banyak
orang dan..” lagi-lagi Tika tidak melanjutkan kalimatnya. Ponsel Kanaya
berdering.
“Hallo…
iya benar saya Kanaya..”
Tubuh
Kanaya bergetar, kakinya lemas tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir
mungil Nay, ia hanya menatap kosong ke depan. Tika menghampiri Kanaya dan
langsung memeluknya. Tika tahu apa yang sedang terjadi dan siapa yang tadi
menelpon kanaya karena itu adalah apa yang ingin Tika samapaikan pada
sahabatnya.
“Dia
pasti kena tipu” ucapa Naya lirih
“Naya
sadar Nay, mau sampai kapan lu belain Arya, lu Cuma dijadiin sapi perah sama
dia”. Kata Tika mulai emosi melihat reaksi sahabatnya.
“Pihak
bank nggak bakal salah bikin laporan Nay lu gak bakal sebego ini kan? Arya yang
pinjam duit di bank dan harus dia yang bayar bukan lu! Arya bukan cowok
baik-baik Nay, dia Cuma manfaatin lu!” tika menegaskan kata-katanya.
“Arya
pasti punya alasan”
Dengan
tangan yang masih gemetar Kanaya berusaha menelpon Arya tapi nihil, ponsel Arya
tidak aktif. Sedetik kemudian yang terdengar hanya isak tangis Nay.
Beberapa
hari setelah itu Naya masih harus mengalami hari yang berat. Pihak Bank datang
ke kos Naya, beberapa orang juga menagih hutang Arya kepada Naya, ada yang
memaki melalui telpon dan ada juga yang langsung datang mengobrak-abrik kos
Naya. Sedang Arya sendiri tidak diketahui keberadaannya, Arya sudah pindah kos
dan sialnya tidak ada seorang temannya pun yang tahu dimana si brengsek ini.
Nomor ponselnya mati, Arya bagai hilang dtelan bumi dan sialnya Kanayalah yang
harus menanggung resikonya.
Kanaya
menghela nafas berat menatap kamarnya yang berantakan. Air mata perlahan
mengalir tak terbendung. Pertahanannya runtuh, Kanaya memang harus menangis.
Malam
yang dingin, angin yang berhembus lebih dingin merasuki kamar mungil ini tapi
hati Nay lah yang membeku. Sisa-sisa kehangatan yang tadi penuh harap karena
rindu membeku. Penyesalan memang selalu datang belakangan dan mencintai terlalu
dalam membuat kanaya jugaa terluka lebih dalam.
***
Kanaya
berlari cepat mengejar pintu lift yang hampir tertutup, seseorang dari dalam
lift yang melihat Kanaya berlari membantu menahan pintu yang hampir menutup
rapat. Hari ini Kanaya mendapat panggilan interview kerja di salah satu stasiun
tv swasta. Seperti sebuah Oasis untuk Kanaya ditengah segala cobaan yang sedang
diterimanya.
Beberapa
menit kemudian Kanaya tiba di lantai yang dituju, langkahnya pasti penuh
percaya diri. Sepanjang perjalanan menuju ruang interview Kanaya berkali-kali
melirik tembok kaca untuk melihat kembali penampilannya. Di depan ruang
interview sudah banyak orang yang berbaris menunggu giliran. Setelah satu jam
menunggu Kanaya melangkah mantap masuk kedalam ruangan. Hanya ada seorang
laki-laki setengah tua yang di belakang meja terlihat sedang membolak-balik
kertas dalam genggamannya, kedatangan Kanaya seolah tidak terlihat laki-laki
itu tetap serius menatap data dalam genggamannya.
“Hm..
selamat siang” Kanaya mencoba memberi salam.
Hanya
sekilas lelaki ini melirik Kanaya dengan mata kembali mentap kertas itu sang
peng interview tersebut memberi isyarat dengan tangan yang satunya untuk duduk.
“Dari
CV yang kamu lampirkan tidak tertulis pengalaman kerja, jadi kamu ini belum
pernah bekerja sama sekali?” ucapnya setelah beberapa saat setelah
membolak-balik CV lamaran Kanaya.
“Sebenarnya
secara formal saya memang belum pernah bekerja di perusahaan seperti ini pak
tapi saat ini saya bekerja part tim sebagai penyanyi kafe pa untuk membiayai
kuliah saya” jawab Kanaya dengan ragu.
Setelah
mendengar jawaban Kanaya lelaki ini berdiri melangkah menuju pintu lalu
membukanya, melihat keadaan diluar sebentar dan kembali ke dalam serta meutup
pintu kembali. Lelaki tua ini kanya perlahan-lahan.
“kalau
begitu coba saya lihat pengalaman kerja kamu”
“Apa?”
“Coba
kamu perlihatkan kemampuan kamu bernyanyi” jawabanya dengan ekspresi wajah yang
menjijikan.
“Saya
rasa menyanyi tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang saya lamar di perusahaan
ini” ucap Kanaya lalu berdiri dan melangkah pergi. Suasana ruangan dan gelagat
eneh pria di dipannya membuatnya takut.
Lelaki
tua itu memegang tangan Kanaya, mencoba menahan kepergiannya. Sekuat tenaga
Kanaya mencoba melepaskan diri tapi laki-laki brengsek ini malah menarik Kanya
dalam pelukannya dan mencoba meniumnya. Kanaya menjerit minta tolong tapi tidak
ada seorangpun yang datang. Kanaya terus berontak melapaskan diri, air mata
mengalir diselal-sela usaha Kanaya menyelamatkan dirinya. Lelaki tua itu
berusaha mencium dan mengangkat rok yang Kanaya pakai.
“Sst..
Jangan berisik! Setelah ini saya akan memberikan pekerjaan yang kamu inginkan
jadi diam dan nikmati” bisiknya saat Kanaya terpojok di tembok dan mulut yang
dibekap tangan menjijikan lelaki tua ini.
“AAAARRRRGGGHHH….”
Kanaya
berhasil melepaskan diri setelah menendang senjata sial lelaki mesum ini,
lelaki tua itu pun meraung kesakitan sambil memegangi selangkangannya. Saat lelaki
itu ambruk ke lantai sekali lagi kanaya menendang selangkangannya sebelum
pergi.
Kanaya
melangkah keluar dengan kaki yang gemetar tidak ada seorang pun di luar ruangn
ini, sepi membuat Kanaya semakin ketakutan. Kanaya berlari mencari kamar mandi
dan menahan isak tangisnya sekuat tenaga. Merasa sendiri dan hampir hancur.
Entah berapa lama Kanaya menangis di dalam toilet melepaskan rasa sakit hatinya
atas hal buruk yang dialaminya. Dunia yang keras ini rasanya tidak mampu lagi
Kanaya pijak, hatinya hancur.
Selama hampir 4 tahun Kanaya berada di Jakarta
rasanya belum pernah sekalipun Kanaya merasakan dunia mendukungnya. Sia-sia kah
kedatangannya ke Jakarta?. Cita-citanya untuk membanggakan orang-orang panti
dengan keberhasilannya menaklukan Jakarta akankah hanya sebuah Khayalan?. Lalu
beasiswa yang membawanya ke ibu kota negeri ini apa hanya sebuah musibah?.
Benar,
Jakarta tidak cocok untuk Kanaya. Mungkin Kanaya harus kembali ke Bandung,
membantu ibu Nur mengurus panti atau segera menikah dengan salah satu donatur
panti yang menyukainya.
Kanaya
melangkah lemah keluar dari gedung setinggi 74 lantai ini. Dari luar Kanaya
menatap gedung tinggi menjulang yang menyilaukan matanya. Angin semilir
berhembus menerbangkan anak rambut Kanayan dalam hati Kanaya berbisik ucap
syukur karena Tuhan masih menyelamatkannya hari ini.
Ponsel
Kanaya bergetar, telpon dari Tika.
“Kenapa
Tik?”
“Cepet
ke sini Nay, Arya.. Arya ada di sini..” terdengar suara Tika seperti berbisik
di seberang sana
“Dimana?”
Kanaya
segera melangkah pergi setelah itu, mencoba memberhentikan taksi berkali-kali.
“Arrrggh!!!”
Kanaya menjerit, tidak satu pun lewat taksi kosong.
Kanaya
tidak boleh kehilangan Arya setidaknya Arya berhutang penjelasan kepadanya.
Tangan Kanaya berkali-kali melambai memberhentikan sebuah Taksi saat sebuah
taksi mengampirinya seorng laki-laki langsung memegang handle pintu taksi.
“Hei..!
ini taksi gue.. gue yang berhentiin taksi ini duluan” ujar Kanaya menahan pintu
taksi.
Lelaki
tinggi ini menatap Kanaya heran tanpa berkata apa-apa lelaki ini mengetuk kaca
jendela supir taksi.
“Saya
Januar pak”
“Maaf
mbak, taksi ini atas pesanan mas Januar ini” ucap sang supir.
“Saya
bayar dua kali lipat pak, saya harus segera ke hotel Akasia, segera” Kanaya
memohon pada pak supir.
Si
jangkung yang bernama Janu ini melangkah dan langsung masuk kedalam taksi
membiarkan Kanaya mematung karena malu.
“Hei
nona!” Panggil Janu dan Kanaya melirik
malas.
“Tujuan
kita sama, ayo kita pergi bareng” ajaknya dai dalam taksi dan menggeser posisi
duduknya hingga dekat dengan pintu sebelahnya.
“Kita
bisa patungan” kata Janu dengan seolah berbisik.
Tidak
ada pilihan lain akhirnya Kanaya masuk ke dalam taksi dan taksi pun langsung
melaju menuju hotel Akasia. Dan sepanjang perjalanan Kanaya tidak bersuara
sedikitpun hanya berkali kali melihat ke depan meskipun Janu berusaha mengajak
kanaya bicara setidaknya Janu berusaha agar suasana tidak lebih canggung.
Saat
taksi berhenti di depan Loby hotel Kanaya lansung melesat masuk ke dalam hotel,
matanya mengedar ke segala penjuru loby hotel. Kanaya menghampiri meja
informasi mencoba mencari tahu di lantai berapa Arya menyewa kamar. Tapi sesuai
peraturan hotel mereka tidak bisa memberitahukan informasi kesembarang orang.
Nafas
berat berhembus kencang dari mulut Kanaya yang bisa dilakukan hanya menunggu.
Benarkah yang dilihat Tika adalah Arya? Tapi ada urusan apa Arya sampai harus
ke hotel?. Dengan segala hutang yang Arya punya mustahil Arya mampu membayar
sewa hotel.
“Hei
nona, cepat bayar ongkos setengah taksinya”
Janu
berdiri dengan menadahkan tangannya dihadapan Kanaya.
“Sorry..
sorry tadi gue buru-buru” Kanaya merogoh tasnya dan mengambil dompet dan
mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
“gue
nggak punya receh.. uang pas aja”
“emang
bera…” kata-kata Kanaya terputus saat matanya menangkap sosok laki-laki yang
dikenalnya keluar dari lift merangkul mesra seorang wanita setengah tua.
Dengan
tatapan tidak percaya Kanaya menghampiri Arya yang berjalan keluar hotel.
Kemesraan yang Kanaya lihat membuatnya jijik, laki-laki 24 tahun merangkul
mesra wanita setengah tua. Gigolo.
Plaaak!
Tangan
Kanaya bergetar setelah manampar Arya dan Arya setengah mati kaget melihat
Kanaya sedangkan si tante girang disampingnya sibuk membelai panik pipi Arya
yang merah karena tamparan Kanaya.
“Naya???”
“Dasar
cowok brengsek!” dengus Kanaya kesal dan jijik melihat wanita berumur yang
tidak tahu malu di hadapannya.
“Aku..
aku bisa jelasin ke kamu Nay.. ini gak seperti yang kamu lihat” kata Arya
panik.
“Mau
jelasin apa? Kalau lu udah selesai manfaatin gue dan sekarang giliran si tante
girang ini yang bakalan jadi sapi perah lu selanjutnya?” sindir Kanaya sambil
melirik.
Si
tante girang tidak terima dengan pelakuan Kanaya dia berteriak memanggil satpam
agar mengamankan Kanaya dan mengusir Kanaya. Arya terlihat panik melihat Kanaya
digiring satpam keluar tapi dia juga berat meninggalkan sang tante yang mulai
heboh mengusir orang-orang yang menonton mereka.
***
“nih..”
Lagi-lagi
Janu menghampiri Kanaya lalu duduk disampingnya menyodorkan dompet Kanaya yang
terjatuh. Kanaya mengambil dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh
ribuan.
“Udah
gue bilang gue nggak punya receh, lu simpen aja duit lu”
“Apa
semua cowok itu brengsek? apa dunia ini memang seperti ini? Hanya berpihak pada
orang yang punya banyak uang? rasanya nggak ada satu pun yang berjalan baik”
Tanya Kanaya lemah.
“
Mungkin lu belum ketemu yang baik aja kali.. anggap aja lu tuh istimewa karena
Dia milih lu dari sekian banyak orang buat ujian ini” kata Janu santai sambil
tangannya menunjuk langit.
Kanaya
tersenyum mendengar kalimat yang meluncur indah dari cowok selengean macam Janu
tapi hanya sebentar karena senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah senyum
yang misterius seolah ada makna lebih dalam senyum Kanaya. Kanaya merogoh
tasnya mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol lalu meletakkan di
telinganya.
“Halo
kantor polisi…”
***
Tika
menatap nelangsa sahabatnya yang sibuk mengepak beberapa barang di dalam kamar.
Sebenarnya ada rasa bangga yang menyelinap di hati Tika saat mendengar
keputusan Kanaya untuk menghapus Arya dari seluruh hidupnya tapi rasa khawatir
yang begitu dominan menguasai perasaan Tika. Kanaya yang dilihatnya hari itu
bukanlah Kanaya yang sebenarnya.
Tatapan
mata Kanaya yang memancarkan dendam dan kata-katanya yang syarat ambisi membuat
Tika yakin ada tujuan besar yang ingin Kanaya capai. Apapun itu dan sesulit
apapun itu Tika tahu Kanaya akan mampu melewatinya. Gadis setegar karang itu
mampu melakukan dan bertahan dari kesulitan hisupnya.
“Kenapa
lu?” suara Kanaya mengaburkan lamunan Tika.
Tika
hanya menggeleng dan tersenyum lalu membantu sahabatnya memasukan beberapa
barang ke dalam kardus.
“Kalau
suatu hari gue berubah dan seluruh dunia gue juga ikut berubah, gue harap Cuma
lu satu-satunya yang nggak bakalan berubah Tik. Lu harus tetap jadi sahabat gue
yang seperti rambu-rambu, selalu ngasih peringatan buat gue biar gue nggak
salah jalan”
“Apaan
sih lu..” sahut Tika sambil menepuk pundak Kanaya.
Kanaya
tersenyum manis sekali malam itu, rambutnya yang dikuncir kuda itu berayun-ayun
saat tubuh Kanaya berguncang karena menahan tawa.
“Seriusan
gue, nanti kalau gue jadi pengacara terkenal dengan bayaran paling mahal
kos-kosan ini bakal jadi tempat paling bersejarah buat gue dan elo bakal bangga
punya teman kayak gue. Itu cita-cita gue. Emangnya elo yang punya cita-cita
jadi ibu rumah tangga nggak keren tahu!” seloroh Kanaya.
“Biarin..
itu adalah cita-cita paling mulia yang dimiliki oleh seorang perempuan”
Malam
itu di dalam kamar kecil hanya terdengar suara renyah penuh tawa dua insan yang
memiliki cita, cinta dan masa depan yang berbeda. Jalan seperti apa yang akan
mereka tempuh untuk mendapatkan impian mereka hanya mereka yang mampu memillih.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk membuat mimpi menjadi nyata adalah
bangun. Bagi Kanaya dia harus bangun dari kenyataan pahitnya bergantung kepada
orang yang salah dan mulai mencari orang yang tepat untuk menggantungkan
seluruh hidupnya.
2
tahun kemudian