Rabu, 01 Mei 2013

mirror



Wanita cantik itu menuruni anak tangga dengan hati-hati. Tangan kanannya memegang tas mewah kelas satu, gaunnya buatan perancang busana nomor satu di negeri ini melekat indah ditubuh seksinya. Pulasan make up tebal mempertegas kecantikannya. Tatapan matanya sarat akan rasa percaya diri yang tinggi dan sedikit angkuh. Kanaya tersenyum cantik saat melihat suaminya berdiri di ujung anak tangga terakhir. Kanaya merangkul lengan suaminya dan bergegas pergi. Erick menatap istrinya penuh bangga, kecantikannya yang selalu dibangga-banggakan Kris didepan keluarga dan teman-teman kerjanya. Erick mengenal kanaya di Bandung, saat menjamu relasi bisnisnya di sebuah restaurant. Bagi Erick itu adalah cinta pada pandangan pertama dan mati-matian kris mengejar cinta Kanaya.

Kanaya
“Sial banget sih gue hari ini.. Arrgh! Dasar sepatu murahan! Monyeet…!” teriak Kanaya saat sebelah hak sepatunya rusak. Sepanjang perjalanan menuju kost Kanaya terus menerus menggerutu.
Bagi Kanaya sepanjang hari dalam hidupnya adalah perjuangan. Berjuang untuk bisa makan dan mencari kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu hanya bisa dinikmati dengan uang, siapa yang memiliki uang banyak maka hidupnya akan bahagia itulah yang selalu tertanam dihatinya. Uang. Lord of Money.
Untuk membiayai kuliahnya Kanaya bekerja sebagai penyanyi kafe, wajah cantik membuatnya menjadi diva kafe dan ini lah yang menjadi kecemburuan rekan kerja sesame penyanyi kafe. Kanaya selalu mendapatkan tips paling besar dari pengunjung yang sering memesan lagu padanya. Pernah suatu hari temannya tersebut melabrak kanaya yang sedang bersia-siap pulang. Dan Kanya bukanlah gadis lemah yang hanya mampu menangis saat di Bully.
Plaak!
“lu pikir Cuma lu doang yang bisa main kasar” bentak Kanaya.
“DASAR JABLAY..”
Jika semenit saja mereka dibiarkan berkelahi tanpa ada yang melerai entah apa yang akan terjadi. Saling jambak dan saling mencakar adalah kemampuan wanita dalam berkelahi dan efek setelah itu akan jauh lebih mengejutkan.
Dengan langkah gontai Kanaya melangkah menuju kamar kostnya, pandangan sebelah mata yang selalu diterima Kanaya adalah resiko dari seorang pekerja malam. Sindiran dari sesama penghuni kos pun sudah jadi hal biasa dalam kesehariannya. Ayam kampus, wanita jalang, wanita penghibur, pelacur hanya kata-kata melecehkan yang selalu Kanaya terima.
Terlahir entah dari keluarga seperti apa Kanaya pun sama sekali tidak mengetahui asal usulnya. Dia dibesarkan di panti asuhan dari usia 5 tahun hingga tamat SMA, tidak ada keterangan apapun dari pihak panti mengenai asal usul kelahirannya. Setelah itu Kanaya memutuskan untuk hidup mandiri, berbekal beasiswa yang diterimanya di universitas Indonesia Kanaya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Orang desa seperti Kanaya tidak pernah tahu kalau kehidupan di Jakarta jauh lebih keras dibanding kehidupan di panti. Ditipu, direndahkan karena berasal dari sebuah panti asuhan, anak beasiswa yang selalu dibelakangkan oleh pihak kampus, semua menjadi tempaan mental bagi Kanaya.
Perlahan namun pasti Kanaya pun menjadi pribadi yang keras, gadis desa itu berubah menjadi wanita berambisi. Dalam hatinya selalu tertanam untuk menaklukan Jakarta.

***
Angin malam yang dingin berhembus pelan masuk kedalam kamar kos kanaya, membelai lembut wajahnya, kamar yang dingin, tubuh yang kedinginan tapi hanya hati Kanaya yang hangat. Kanaya melirih ponsel dalam genggamannya tidak ada pemberithuan dilayar ponselnya. Nama yang Kanaya harapkan mampu memberinya kehangatan tidak juga muncul. Hatinya merindukan cintanya, sudah 4 hari Arya tidak memberi kabar padanya.
“Nggak usah tunggu-tunggu kabar dari cowok lu lagi Nay”
“Tika nggak usah mulai lagi deh, gue capek mendingan lu balik aja ke kamar lu sana!”
Tika menghampiri kanaya, melihat sahabatnya lebih dekat. Sisa perkelahian di kafe tadi masih kentara. Kanaya memalingkan wajahnya saat tangan Tika mencoba memegang wajahnya.
“Lu berantem lagi? Udah cukup Nay lu hidup kaya begini lu..”
“BERHENTI!!” bentak Kanaya menghentikan kalimat yang sudah Kanaya hafal akan dilontakan sahabatnya ini.
Kejadian seperti ini sudah sering terjadi dan itu membuat teman-teman terdekatnya prihatin tapi seprihatin apapun seorang teman tidak akan pernah berguna kalau orang itu justru malah tidak peduli pada dirinya sendiri. Nasehat teman-temannya hanya seperti angin lalu yang berhembus pelan dan tidak ada artinya.
“Ok gue bakal pergi, gue Cuma pengen kasih tahu lu kalau Arya lagi dicari banyak orang dan..” lagi-lagi Tika tidak melanjutkan kalimatnya. Ponsel Kanaya berdering.
“Hallo… iya benar saya Kanaya..”
Tubuh Kanaya bergetar, kakinya lemas tidak ada kata-kata yang keluar dari bibir mungil Nay, ia hanya menatap kosong ke depan. Tika menghampiri Kanaya dan langsung memeluknya. Tika tahu apa yang sedang terjadi dan siapa yang tadi menelpon kanaya karena itu adalah apa yang ingin Tika samapaikan pada sahabatnya.
“Dia pasti kena tipu” ucapa Naya lirih
“Naya sadar Nay, mau sampai kapan lu belain Arya, lu Cuma dijadiin sapi perah sama dia”. Kata Tika mulai emosi melihat reaksi sahabatnya.
“Pihak bank nggak bakal salah bikin laporan Nay lu gak bakal sebego ini kan? Arya yang pinjam duit di bank dan harus dia yang bayar bukan lu! Arya bukan cowok baik-baik Nay, dia Cuma manfaatin lu!” tika menegaskan kata-katanya.
“Arya pasti punya alasan”
Dengan tangan yang masih gemetar Kanaya berusaha menelpon Arya tapi nihil, ponsel Arya tidak aktif. Sedetik kemudian yang terdengar hanya isak tangis Nay.
Beberapa hari setelah itu Naya masih harus mengalami hari yang berat. Pihak Bank datang ke kos Naya, beberapa orang juga menagih hutang Arya kepada Naya, ada yang memaki melalui telpon dan ada juga yang langsung datang mengobrak-abrik kos Naya. Sedang Arya sendiri tidak diketahui keberadaannya, Arya sudah pindah kos dan sialnya tidak ada seorang temannya pun yang tahu dimana si brengsek ini. Nomor ponselnya mati, Arya bagai hilang dtelan bumi dan sialnya Kanayalah yang harus menanggung resikonya.
Kanaya menghela nafas berat menatap kamarnya yang berantakan. Air mata perlahan mengalir tak terbendung. Pertahanannya runtuh, Kanaya memang harus menangis.
Malam yang dingin, angin yang berhembus lebih dingin merasuki kamar mungil ini tapi hati Nay lah yang membeku. Sisa-sisa kehangatan yang tadi penuh harap karena rindu membeku. Penyesalan memang selalu datang belakangan dan mencintai terlalu dalam membuat kanaya jugaa terluka lebih dalam.

***
Kanaya berlari cepat mengejar pintu lift yang hampir tertutup, seseorang dari dalam lift yang melihat Kanaya berlari membantu menahan pintu yang hampir menutup rapat. Hari ini Kanaya mendapat panggilan interview kerja di salah satu stasiun tv swasta. Seperti sebuah Oasis untuk Kanaya ditengah segala cobaan yang sedang diterimanya.
Beberapa menit kemudian Kanaya tiba di lantai yang dituju, langkahnya pasti penuh percaya diri. Sepanjang perjalanan menuju ruang interview Kanaya berkali-kali melirik tembok kaca untuk melihat kembali penampilannya. Di depan ruang interview sudah banyak orang yang berbaris menunggu giliran. Setelah satu jam menunggu Kanaya melangkah mantap masuk kedalam ruangan. Hanya ada seorang laki-laki setengah tua yang di belakang meja terlihat sedang membolak-balik kertas dalam genggamannya, kedatangan Kanaya seolah tidak terlihat laki-laki itu tetap serius menatap data dalam genggamannya.
“Hm.. selamat siang” Kanaya mencoba memberi salam.
Hanya sekilas lelaki ini melirik Kanaya dengan mata kembali mentap kertas itu sang peng interview tersebut memberi isyarat dengan tangan yang satunya untuk duduk.
“Dari CV yang kamu lampirkan tidak tertulis pengalaman kerja, jadi kamu ini belum pernah bekerja sama sekali?” ucapnya setelah beberapa saat setelah membolak-balik CV lamaran Kanaya.
“Sebenarnya secara formal saya memang belum pernah bekerja di perusahaan seperti ini pak tapi saat ini saya bekerja part tim sebagai penyanyi kafe pa untuk membiayai kuliah saya” jawab Kanaya dengan ragu.
Setelah mendengar jawaban Kanaya lelaki ini berdiri melangkah menuju pintu lalu membukanya, melihat keadaan diluar sebentar dan kembali ke dalam serta meutup pintu kembali. Lelaki tua ini kanya perlahan-lahan.
“kalau begitu coba saya lihat pengalaman kerja kamu”
“Apa?”
“Coba kamu perlihatkan kemampuan kamu bernyanyi” jawabanya dengan ekspresi wajah yang menjijikan.
“Saya rasa menyanyi tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang saya lamar di perusahaan ini” ucap Kanaya lalu berdiri dan melangkah pergi. Suasana ruangan dan gelagat eneh pria di dipannya membuatnya takut.
Lelaki tua itu memegang tangan Kanaya, mencoba menahan kepergiannya. Sekuat tenaga Kanaya mencoba melepaskan diri tapi laki-laki brengsek ini malah menarik Kanya dalam pelukannya dan mencoba meniumnya. Kanaya menjerit minta tolong tapi tidak ada seorangpun yang datang. Kanaya terus berontak melapaskan diri, air mata mengalir diselal-sela usaha Kanaya menyelamatkan dirinya. Lelaki tua itu berusaha mencium dan mengangkat rok yang Kanaya pakai.
“Sst.. Jangan berisik! Setelah ini saya akan memberikan pekerjaan yang kamu inginkan jadi diam dan nikmati” bisiknya saat Kanaya terpojok di tembok dan mulut yang dibekap tangan menjijikan lelaki tua ini.
“AAAARRRRGGGHHH….”
Kanaya berhasil melepaskan diri setelah menendang senjata sial lelaki mesum ini, lelaki tua itu pun meraung kesakitan sambil memegangi selangkangannya. Saat lelaki itu ambruk ke lantai sekali lagi kanaya menendang selangkangannya sebelum pergi.
Kanaya melangkah keluar dengan kaki yang gemetar tidak ada seorang pun di luar ruangn ini, sepi membuat Kanaya semakin ketakutan. Kanaya berlari mencari kamar mandi dan menahan isak tangisnya sekuat tenaga. Merasa sendiri dan hampir hancur. Entah berapa lama Kanaya menangis di dalam toilet melepaskan rasa sakit hatinya atas hal buruk yang dialaminya. Dunia yang keras ini rasanya tidak mampu lagi Kanaya pijak, hatinya hancur.
 Selama hampir 4 tahun Kanaya berada di Jakarta rasanya belum pernah sekalipun Kanaya merasakan dunia mendukungnya. Sia-sia kah kedatangannya ke Jakarta?. Cita-citanya untuk membanggakan orang-orang panti dengan keberhasilannya menaklukan Jakarta akankah hanya sebuah Khayalan?. Lalu beasiswa yang membawanya ke ibu kota negeri ini apa hanya sebuah musibah?.
Benar, Jakarta tidak cocok untuk Kanaya. Mungkin Kanaya harus kembali ke Bandung, membantu ibu Nur mengurus panti atau segera menikah dengan salah satu donatur panti yang menyukainya.
Kanaya melangkah lemah keluar dari gedung setinggi 74 lantai ini. Dari luar Kanaya menatap gedung tinggi menjulang yang menyilaukan matanya. Angin semilir berhembus menerbangkan anak rambut Kanayan dalam hati Kanaya berbisik ucap syukur karena Tuhan masih menyelamatkannya hari ini.
Ponsel Kanaya bergetar, telpon dari Tika.
“Kenapa Tik?”
“Cepet ke sini Nay, Arya.. Arya ada di sini..” terdengar suara Tika seperti berbisik di seberang sana
“Dimana?”
Kanaya segera melangkah pergi setelah itu, mencoba memberhentikan taksi berkali-kali.
“Arrrggh!!!” Kanaya menjerit, tidak satu pun lewat taksi kosong.
Kanaya tidak boleh kehilangan Arya setidaknya Arya berhutang penjelasan kepadanya. Tangan Kanaya berkali-kali melambai memberhentikan sebuah Taksi saat sebuah taksi mengampirinya seorng laki-laki langsung memegang handle pintu taksi.
“Hei..! ini taksi gue.. gue yang berhentiin taksi ini duluan” ujar Kanaya menahan pintu taksi.
Lelaki tinggi ini menatap Kanaya heran tanpa berkata apa-apa lelaki ini mengetuk kaca jendela supir taksi.
“Saya Januar pak”
“Maaf mbak, taksi ini atas pesanan mas Januar ini” ucap sang supir.
“Saya bayar dua kali lipat pak, saya harus segera ke hotel Akasia, segera” Kanaya memohon pada pak supir.
Si jangkung yang bernama Janu ini melangkah dan langsung masuk kedalam taksi membiarkan Kanaya mematung karena malu.
“Hei nona!” Panggil Janu dan  Kanaya melirik malas.
“Tujuan kita sama, ayo kita pergi bareng” ajaknya dai dalam taksi dan menggeser posisi duduknya hingga dekat dengan pintu sebelahnya.
“Kita bisa patungan” kata Janu dengan seolah berbisik.
Tidak ada pilihan lain akhirnya Kanaya masuk ke dalam taksi dan taksi pun langsung melaju menuju hotel Akasia. Dan sepanjang perjalanan Kanaya tidak bersuara sedikitpun hanya berkali kali melihat ke depan meskipun Janu berusaha mengajak kanaya bicara setidaknya Janu berusaha agar suasana tidak lebih canggung.
Saat taksi berhenti di depan Loby hotel Kanaya lansung melesat masuk ke dalam hotel, matanya mengedar ke segala penjuru loby hotel. Kanaya menghampiri meja informasi mencoba mencari tahu di lantai berapa Arya menyewa kamar. Tapi sesuai peraturan hotel mereka tidak bisa memberitahukan informasi kesembarang orang.
Nafas berat berhembus kencang dari mulut Kanaya yang bisa dilakukan hanya menunggu. Benarkah yang dilihat Tika adalah Arya? Tapi ada urusan apa Arya sampai harus ke hotel?. Dengan segala hutang yang Arya punya mustahil Arya mampu membayar sewa hotel.
“Hei nona, cepat bayar ongkos setengah taksinya”
Janu berdiri dengan menadahkan tangannya dihadapan Kanaya.
“Sorry.. sorry tadi gue buru-buru” Kanaya merogoh tasnya dan mengambil dompet dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
“gue nggak punya receh.. uang pas aja”
“emang bera…” kata-kata Kanaya terputus saat matanya menangkap sosok laki-laki yang dikenalnya keluar dari lift merangkul mesra seorang wanita setengah tua.
Dengan tatapan tidak percaya Kanaya menghampiri Arya yang berjalan keluar hotel. Kemesraan yang Kanaya lihat membuatnya jijik, laki-laki 24 tahun merangkul mesra wanita setengah tua. Gigolo.
Plaaak!
Tangan Kanaya bergetar setelah manampar Arya dan Arya setengah mati kaget melihat Kanaya sedangkan si tante girang disampingnya sibuk membelai panik pipi Arya yang merah karena tamparan Kanaya.
“Naya???”
“Dasar cowok brengsek!” dengus Kanaya kesal dan jijik melihat wanita berumur yang tidak tahu malu di hadapannya.
“Aku.. aku bisa jelasin ke kamu Nay.. ini gak seperti yang kamu lihat” kata Arya panik.
“Mau jelasin apa? Kalau lu udah selesai manfaatin gue dan sekarang giliran si tante girang ini yang bakalan jadi sapi perah lu selanjutnya?” sindir Kanaya sambil melirik.
Si tante girang tidak terima dengan pelakuan Kanaya dia berteriak memanggil satpam agar mengamankan Kanaya dan mengusir Kanaya. Arya terlihat panik melihat Kanaya digiring satpam keluar tapi dia juga berat meninggalkan sang tante yang mulai heboh mengusir orang-orang yang menonton mereka.
***
“nih..”
Lagi-lagi Janu menghampiri Kanaya lalu duduk disampingnya menyodorkan dompet Kanaya yang terjatuh. Kanaya mengambil dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Udah gue bilang gue nggak punya receh, lu simpen aja duit lu”
“Apa semua cowok itu brengsek? apa dunia ini memang seperti ini? Hanya berpihak pada orang yang punya banyak uang? rasanya nggak ada satu pun yang berjalan baik” Tanya Kanaya lemah.
“ Mungkin lu belum ketemu yang baik aja kali.. anggap aja lu tuh istimewa karena Dia milih lu dari sekian banyak orang buat ujian ini” kata Janu santai sambil tangannya menunjuk langit.
Kanaya tersenyum mendengar kalimat yang meluncur indah dari cowok selengean macam Janu tapi hanya sebentar karena senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah senyum yang misterius seolah ada makna lebih dalam senyum Kanaya. Kanaya merogoh tasnya mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol lalu meletakkan di telinganya.
“Halo kantor polisi…”
***

Tika menatap nelangsa sahabatnya yang sibuk mengepak beberapa barang di dalam kamar. Sebenarnya ada rasa bangga yang menyelinap di hati Tika saat mendengar keputusan Kanaya untuk menghapus Arya dari seluruh hidupnya tapi rasa khawatir yang begitu dominan menguasai perasaan Tika. Kanaya yang dilihatnya hari itu bukanlah Kanaya yang sebenarnya.
Tatapan mata Kanaya yang memancarkan dendam dan kata-katanya yang syarat ambisi membuat Tika yakin ada tujuan besar yang ingin Kanaya capai. Apapun itu dan sesulit apapun itu Tika tahu Kanaya akan mampu melewatinya. Gadis setegar karang itu mampu melakukan dan bertahan dari kesulitan hisupnya.
“Kenapa lu?” suara Kanaya mengaburkan lamunan Tika.
Tika hanya menggeleng dan tersenyum lalu membantu sahabatnya memasukan beberapa barang ke dalam kardus.
“Kalau suatu hari gue berubah dan seluruh dunia gue juga ikut berubah, gue harap Cuma lu satu-satunya yang nggak bakalan berubah Tik. Lu harus tetap jadi sahabat gue yang seperti rambu-rambu, selalu ngasih peringatan buat gue biar gue nggak salah jalan”
“Apaan sih lu..” sahut Tika sambil menepuk pundak Kanaya.
Kanaya tersenyum manis sekali malam itu, rambutnya yang dikuncir kuda itu berayun-ayun saat tubuh Kanaya berguncang karena menahan tawa.
“Seriusan gue, nanti kalau gue jadi pengacara terkenal dengan bayaran paling mahal kos-kosan ini bakal jadi tempat paling bersejarah buat gue dan elo bakal bangga punya teman kayak gue. Itu cita-cita gue. Emangnya elo yang punya cita-cita jadi ibu rumah tangga nggak keren tahu!” seloroh Kanaya.
“Biarin.. itu adalah cita-cita paling mulia yang dimiliki oleh seorang perempuan”
Malam itu di dalam kamar kecil hanya terdengar suara renyah penuh tawa dua insan yang memiliki cita, cinta dan masa depan yang berbeda. Jalan seperti apa yang akan mereka tempuh untuk mendapatkan impian mereka hanya mereka yang mampu memillih. Hal pertama yang harus dilakukan untuk membuat mimpi menjadi nyata adalah bangun. Bagi Kanaya dia harus bangun dari kenyataan pahitnya bergantung kepada orang yang salah dan mulai mencari orang yang tepat untuk menggantungkan seluruh hidupnya.

2 tahun kemudian