Sabtu, 09 April 2016

Bintang tidak bersinar tanpa kegelapan

Ini bukan yang pertama dan mungkin juga bukan yang terakhir kalinya. Perasaan ini mungkin hanya bias yang tertinggal karena luka. Luka bukan tentang aku dan dia tapi luka tentang diriku sendiri. Seperti irama detak waktu juga seirama dengan denyut dalam aliran darah, seirama itulah aku berusaha meyakini diri ini bahwa aku baik-baik saja.
Sama seperti guguran dedauan yang jatuh tersapu angin kupikir diriku seperti itu nyaris tak ada makna. Aku tidak akan pernah mampu mengulang waktu tidak juga menahan gulirannya yang entah kapan berakhir. Saat itu aku tersadar dari lamunan panjangku bahwa angin tidak selamanya bersalah. Dia hanya membantu menjaga kesuburan tanah dengan menjadikanku pupuknya, membuat kehidupan yang sesungguhnya bertahan lama. Juga membantu menebar benih agar bisa terus berkembang.
Aku hanya dihadapkan pada pilihan menerima kodrat dengan ikhlas atau menyalahkan angin.

Malam silih berganti hingga tak lagi kuingat hitungannya. Bintang dan bulan masih tetap sama, bersinar cemerlang tak tahu malu. Hanya kini hadir pemahaman didalam diri bahwa yang semestinya malu adalah aku. Mereka bersinar bukan untuk mengejekku tapi berusaha menyadarkanku, bahwa di belahan dunia lain ada yang masih mengaggumi cahayanya. Masih ada yang berharap bahwa cahayanya memberikan harapan bahwa hanya kegelapan yang mampu membuatnya bersinar.
Nanti dilain waktu...
Suatu hari, entah kapan...
Kegelapan ini justru akan membuatku bersinar.