Sabtu, 28 Juni 2014

mirror part 2

2 tahun kemudian
Kanaya berkali-kali membetulkan posisi bingkai foto yang mau dipasang ke dinding. Foto yang membuatnya bangga, foto wisuda. Senyumnya didalam foto itu pun terlihat benar-benar cantik, gigi kelincinya terbingkai indah oleh bibir merah jambunya. Cantik.
“Akhirnya..” Kanaya melepas nafas lega karena letak foto itu sudah sesuai keinginannya.
Mata Kanaya mengedar keseluruh ruang kamarnya, hidup Kanaya sudah berubah dia tidak lagi tinggal di kos-kosan kecil bersama sahabatnya Tika. Sebenarnya Kanaya lebih memilih tinggal di kos-kosan kecil itu daripada sendirian dikontrakan mungil yang sepi ini.
Hari di saat Tika memberikan kabar bahagia bahwa dia akan menikah membuat Kanaya merasa lagi-lagi dia akan ditinggalkan orang yang disayanginya. Setelah menikah tentu saja Tika harus tinggal di rumah suaminya dan tanpa keberadaan Tika kos-kosan tersebut sudah tidak nyaman untuk Kanaya.
Saat Tika memperkenalkan calon suaminya yang seorang guru dengan bangga mengatakan mempercayakan seluruh kebahagiaannya kepada seorang guru honorer. Keluarga kecil itu akan bahagia Kanaya yakin itu walau kehidupan yang akan dijalani Tika hanyalah hidup sederhana dan itu cukup baginya. Begitulah Tika, hidupnya, pikirannya dan cita-citanya sangat sederhana.
Andai hidup Kanaya sesederhana itu mungkin Kanaya akan lebih bahagia dengan apa yang dimilikinya. Rumah ini begitu dingin dan Kanaya benci sepi. Kanaya menatap fotonya yang sedang memeluk Tika dari belakang. Banyak orang bilang semakin dewasa teman itu seperti kerucut, makin sedikit. Semenjak di Jakarta hanya Tika lah sahabatnya yang dimiliknya setelah Tika menikah hidup Kanaya pun semakin sepi.
“Nggak semua orang seburuk apa yang lu pikir dan lu kudu belajar membuka diri untuk berteman” ucap Tika suatu hari.
Kanaya tersenyum miris.
“Mereka yang nggak mau jadi temen gue karena mereka terlalu sibuk buat iri dengan apa yang gue punya dan gue dapat. Yang mereka tahu gue selalu pulang malam karena kerja di kafe dan selalu bilang kalau gue tuh cewek nggak bener, mencibir tanpa tahu kalau gue mati-matian kerja pulang pagi buat hidup di Jakarta dan mempertahankan beasiswa gue tanpa bergantung pada siapa-siapa.”
Tika menatap dalam manik mata Kanaya.
“Itu salahnya elu, lebih cepat berburuk sangka dan itu bikin lu jadi skeptik”
“Au ah!”
Hanya dua kata itu yang mampu mengakhiri debat diantara mereka dan Tika sudah paham betul bagaimana sifat sahabatnya dan melanjutkan perdebatan ini hanya membuat mereka bertengkar lagi. Meskipun keesokan harinya mereka sibuk mencari cara untuk berbaikan. Bagi Tika menjadi sahabat bukan hanya bisa menyediakan waktu untuk sekadar berbagi suka dan duka tapi lebih dari itu hakekatnya persahabat bagi Tika adalah sebuah rambu-rambu yang menjadi petunjuk agar kita tidak memilih jalan yang salah dan sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Sahabat  yang baik mampu mengatakan salah jika sahabatnya memang berbuat salah lalu setia disisinya hingga sang sahabat mampu memperbaiki kesalahannya. Kebanyakan persahabatan berakhir justru karena mereka mampu mengatakan salah tapi setelah itu meninggalkannya. Dan bagi Kanaya sendiri persabatan adalah sebuah oase yang mampu memberikannya kesejukan dan itu hanya ditemukan dari Tika.
Sebuah lagu dari Elvis Costello yang juga merupakan soundtrack dari film box office nothing hill, she mengalun lembut mengisi seluruh kekosongan yang ada dihadapan Kanaya. Diraihnya handphone yang berdering memecahkan kesyahduan syair yang begitu memuja wanita. Sebuah nomor yang tidak dikenal muncul di layar handphone keluaran terbaru itu.
“Halo”
“Ka.. Kanaya.. apa betul ini nomor Kanaya?”
Suara ini adalah suara yang sangat Kanaya kenal, suara yang sangat Kanaya rindukan. Suara wanita yang membesarkannya dengan kasih yang tidak pernag didapatnya dari seorang ibu.
“Bu Aini? Iya benar aku Kanaya bu” jawab Kanaya dengan suara bergetar.
Hanya sebuah suara dan kenangan bahagia masa kecil yang tidak pernah sepi menguntai kembali dalam benak Kanaya. Wajah ibu panti dan teman-teman seasrama yang sudah hampir 6 tahun tidak pernah ditemuinya itu bermunculan satu-persatu seperti sebuah proyeksi yang silih berganti. Tiba-tiba rasa rindu itu membuncah.
Orang-orang yang selalu mendukungnya kini menanti sebuah uluran dari Kanaya, orang-orang yang hampir Kanaya lupakan pernah mencintainya. Hari ini seperti sebuah titik balik masa lalu Kanaya yang tidak tersentuh masa sekarang tiba-tiba muncul dan mengaduk-aduk perasaanya. Senyum itu muncul lagi di wajahnya.
Perasaan hangat yang menelusup kedalam hati Kanaya seperti baru kali ini ia rasakan, perasaan bahwa ada keluarga yang menunggunya pulang. Hatinya sudah lama tidak berdebar sekencang ini hanya untuk menemui keluarga. Mereka lah keluarga yang akan senantiasa menunggu dan mendukungnya, keluarga yang seberapa jauh pun Kanaya berjalan dan sempat terlupakan masih menganggapnya bagian dari keluarga tanpa ikatan darah itu. Sebagian orang selalu berpendapat darah lebih kental dari air lalu kenapa mereka tidak bisa membuka mata bahwa ada begitu banyak kasus yang justru berubah jadi perang saudara, perang sedarah. Apa perbandingan tersebut masih layak diucapkan jika lebih banyak orang selalu menggunakan pepatah tiada rotan akar pun jadi?.
“Sebenarnya ibu malu meminta bantuan kamu, sekarang kamu pasti sudah jadi orang sibuk kan?, Apa tisak apa-apa kamu mengurusi masalah panti?” suara penuh khawatir ini rasanya begitu syahdu diteleinga Kanaya.
“Sejujurnya aku malah malu bu, sudah lama sekali aku pergi dan nggak sekalipun aku mengunjungi panti, saudara-saudara aku, keluarga aku bu dan aku bahagia sekali ibu justru menghubungi aku.”
Bu Aini menggengam tangan Kanaya, sentuhan pertama setelah 6 tahun berlalu. Hangat.
“Ada satu hal lagi yang mengganjal nak” kata Bu Aini ragu.
“apa bu?, cerita aja.. siapa tahu bisa jadi bahan tambahan”
“Bukan itu, kamu toh sudah menjadi pengacara dan bayaran kamu pasti mahal sekali sedangkan kemampuan pant….”
“Sssst!!”
“Mana ada sih bu anak yang meminta bayaran untuk berbakti pada orang tuanya” sambung Kanaya.
Genggaman Bu Aini lebih kuat setelah mendengar jawaban putrinya yang sempat hilang. Kanaya melihat keluar ruangan kantor panti karena suara gaduh. Seorang gadis usia 15 tahun mencoba menyeruak masuk ke dalam kantor. Wajah yang tidak asing dalam ingatan Kanaya.
“Mbak… mbak Kanaya ingat aku nggak?” tanyanya disela-selan nafasnya yang terputus.
“Hm… siapa yah?”
Kekecewaan tergambar jelas dari wajah gadis itu setelah menyadari Kanaya melupakannya.
“Sinta! Masa mbak bisa lupa sama kamu, nggak mungkin kan? Masih ngompol dia bu?” Ledek Kanaya.
“Nggak lah mbak! Masa sudah besar begini aku masih ngompol” Sinta langsung duduk disamping Kanaya dan memeluknya.
Kehangatan itu tidak hanya memenuhi ruangan panti ini tapi sudah benar-benar menguasai hati Kanaya. Apapun yang terjadi tidak ada yang boleh mengusik keluarga ini, orang-orang yang Kanaya sayangi. Dalam hati Kanaya berjanji akan melindungi panti ini dengan sekuat tenaganya karena dari sinilah dia berasal. Disinilah dia tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan wanita yang selalu bersahabat dengan kerja keras.


***

“Perusahaan ini memiliki banyak karyawan yang perlu digaji Naya dan menangani kasus panti asuhan seperti ini hanya buang-buang waktu”.
“Saya hanya butuh izin dari bapak untuk menangani kasus ini dan biar saya sendiri yang menanganinya” ucap Kanaya mencoba sekali lagi membujuk bosnya.
“Kanaya!!! Bukan masalah siapa yang akan menangani kasus ini tapi masalahnya ada di uang. Kasus ini tidak akan menghasilkan apa-apa” bentak si bos.
Kanaya tersenyum kecut lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Kanaya tahu dari dulu uang adalah segalanya, Tuhan semua manusia bukanlah Tuhan yang Maha Esa tapi mereka yang menjadikan uang sebagai Tuhan mereka. Money can buy anything bahkan harga diri. Undang-undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) mengatakan bahwa orang miskin, wanita dan anak-anak terlantar dilindungi oleh Negara.Di panti asuhan itu semua orang miskin, ada wanita dan anak-anak terlantar yang bergantung hidupnya untuk tinggal disana. Harusnya seorang pengacara hafal diluar kepala macam-macam UUD sejenis ini bukan hanya satu pasal dan satu ayat yang mengatur tentang masalah fakir miskin tapi apa daya jika pemerintahan dan orang-orang yang tahu hukum saja hanya tunduk karena uang. Mungkin pemerintah harus banyak merombak ulang pasal-pasal yang ada dalam UUD Negara.

Kanaya menandatangani formulir cutinya, hanya ini satu-satunya cara agar Kanaya leluasa menyelamatkan keluarganya. Setidaknya selama cuti dua minggu ini Kanaya akan mampu menyelesaikan sengketa tanah panti asuhan. Beberapa berkas Kanaya pelajari dengan seksama ini adalah kasus pertama yang ditanganinya sendiri.
Sebuah perusahaan tekstile yang sedang berkembang mencoba membuka cabang baru dengan membangun sebuah gedung untuk dijadikan sebuah gedung produksi. Sejumlah penawaran pun ditawarkan pihak perusahaan tapi sayangnya beberapa warga menolak untuk menjual tanah mereka termasuk sebuah panti. Beberapa tindakan yang tidak meyenangkan berupa tekanan diduga dilakukan pihak perusahaan guna membuat warga segera menyetujui penawaran yang telah diajukan.
Dari 103 kepala keluarga yang berada dalam wilayah yang ingin dibeli hampir 75% menerima harga yang ditawarkan perusahaan dan sisanya menolak dengan alasan bahwa tanah yang mereka tinggali adalah tanah turun temurun yang harus dijaga.
“fiuh..” Kanaya menutup berkas yang sudah berulang kali dibaca.
Kanaya membuang nafasnya berat, sebenarnya bagi perusahaan lawyer tempatnya bekerja ini hanyalah sebuah kasus sepele tapi ini adalah kasus pertama yang Kanaya tangani sendiri. Pengacara pihak lawan yang akan Kanaya hadapi pun dia tidak tahu seperti apa. Besok adalah hari debutnya sebagai pengacara tunggal. Dan dalam hati lirih Kanaya berdoa kepada yang Maha Kuasa agar meminjamkan kekuatan-Nya untuk membantu keluarganya.
Esoknya Kanaya meminta bu Aini mengumpulkan seluruh kepala keluarga yang tidak setuju dengan penggusuran tanah untuk mengadakan rapat darurat sebelum Kanaya menemui perwakilan dari pihak perusahaan.
Dalam rapat itu Kanaya membahas seluruh sebab akibat yang akan mereka hadapi dengan pengajuan penolakan penggusuran ini. Berbagai macam alasan mereka kemukakan dari uang penggantian yang tidak sesuai dengan harga tanah gusuran dan alasan pribadi lainnya berupa rasa cinta ingin mempertahankan tanah turun termurun keluarga.
“Hanya tanah ini yang kami punya, tanah yang merupakan warisan keluarga yang ibu gunakan sebagai tempat perlindungan untuk anak-anak yang bahkan pemerintah memandang rendah mereka. Tanah tempat puluhan anak manusia yang tidak diinginkan keberadaannya berjuang hidup. Kamu bisa merasakannya kan, Nay?” Tanya bu Aini dan tentu saja aku mengangguk. Bagaimana aku bisa melupakan tanah yang selama 13 tahun aku berjuang hidup dari seorang anak yang dibuang menjadi manusia dengan harga diri yang tinggi.
“Aku akan beusaha semampu aku bu untuk menyelamatkan panti ini” Janji Kanaya dengan menggengam tangan wanita yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri.
Beberapa opsi kemungkinan yang mungkin akan muncul setelah mereka menyampaikan keberatan dengan pihak perusahaan telah Kanaya sampaikan dari kemungkinan terburuk dan terbaik ayang kan mereka terima.

***
Siang itu Kanaya melirik jam tangannya berkali-kali, sudah hampir satu jam lewat dari waktu yang telah dijanjikan. Udara panas berhembus membuat hati mereka semakin berdebar tidak terkendali saat dua mobil mewah memasuki kawasan panti.
Kanaya juga sama tegangnya dengan semua perwakilan dari tiap-tiap keluarga. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan menguatkan rasa percaya diri yang mulai goyah melihat keangkuhan si pemilik perusahaan.
“Saya Kanaya..” Kanaya megulurkan tangannya memberi salam tapi laki-laki dihadapannya sama sekali tidak memberikan sambutan. Kanaya menarik pahit tangannya yang terulur. Wajah tampan, tubuh tinggi, setidaknya secara keseluruhan fisik lelaki di hadapan Kanaya bisa dibilang sempurna tapi bertolak belakang dengan kesombongan dan keangkuhan yang terlihat jelas dari wajahnya. Ekspresi wajahnya yang seoleh sedang membuang-buang waktu berada disini, hari ini membuat kesal Kanaya.
“Saya Kanaya Pengacara dari pihak warga”
“Saya Januar, Pengacara Perusahaan PT. Gootekstile” sebuah tangan terulur dihadapan Kanaya.
 Kanaya menjabat tangan Januar dan sepintas melirik laki-laki angkuh tapi memiliki aura terhormat yang sangat tinggi. Beberapa orang yang entah apanya lelaki ini mengekori sang majikan yang mulai melangkah maju menuju ruang serbaguna panti.
“Di dalam berkas tersebut sudah kami lampirkan beberapa alasan kami melakukan penolakan ini, kami harap permasalahan ini tidak berlanjut dan dapat diselesaikan secara kekeluargaan” ucap Kanaya tegas.
Januar dan beberapa orang yang tadi mengekori majikannya membaca berkas tersebut dengan teliti tetapi sang bos hanya memolak-balik kertas tersebut dengan segan. Rasanya ingin sekali Kanaya menjambak-jambak rambut lelaki sombong ini.
“Maaf pak, entah kenapa saya merasa bapak sama sekali tidak tertarik dengan isi berkas yang kami ajukan. Berkas yang sedari tadi hanya bapak bolak-balik itu adalah apa yang ada di hati semua pemilik tanah ini. Saya harap bapak bisa memahami isi seluruh berkas tersebut dengan membacanya secara teliti” pinta Kanaya dengan nada sedikit menyindir.
Seluruh orang yang ada di dalam ruang hanya bisa diam mendengar kata-kata Kanaya. Mereka saling melirik menunggu reaksi sang bos angkuh tersebut.
“Hanya 25% dari keseluruhan warga yang menolak kenapa harus membuang-buang waktu seperti ini? Dalam 3 hari bereskan semuanya!”
Setelah mengatakan perintah yang seperti titah raja itu sang bos angkuh melangkah pergi, seluruh penghuni ruangan hanya mampu menelan ludah. Uang sekali lagi menunjukan kekuatannya pada Kanaya dan itu membuat Kanaya berang.
“Bapak Erick yang terhormat, 25% yang Anda abaikan akan kubuat menjadi 100% sampai satu batu bata pun tidak akan menyentuh tanah ini dan pabrik itu akan pernah berdiri disini” tantang Kanaya emosi.
 Kata-kata tersebut mampu menahan langkah Erick, sekilas di wajah lelaki bujang yang tahun ini berusia 36 tahun itu melengkungkan sebuah senyum.
“Berapa pun yang diperlukan dan apapun yang harus dilakukan kalian harus pastikan 25% itu menjadi NOL!!. Laporkan semuanya dalam 3 hari!!.” Perintahnya tanpa sedikitpun keraguan lalu melangkah pergi setelah menunjukan bahwa yang berkuasa adalah dia yang memiliki uang. Dan seluruh budak-budaknya pun pergi mengikuti sang majikan.
“ITU TIDAK AKAN TERJADI!!” teriak Kanaya dan mereka tetap pergi.
Suasana ruang mulai memanas, riuh rendah suara saling sahut menyahut dan mulai ricuh menanggapi kejadian baru saja mereka saksikan. Kanaya menatap bu Aini yang rasa putus asa terlihat jelas di wajahnya. Beberapa perwakilan dari kepala keluarga memberikan dukungan mereka kepada Kanaya dan banyak juga yang menyayangkan apa yang Kanaya lakukan.
***
“Kanaya!!”
Kanaya menghentikan langkahnya dan mencari asal suara. Januar si pengacara tim lawan itu melambaikan tangannya dan berjalan menghampiri Kanaya. Januar tersenyum seperti seorang kawan yang lama tidak berjumpa.
“Apa kabar?” tanyanya saat berdiri disisi Kanaya.
“buruk”
“Kenapa?”
“…”
“Aah.. lu pasti lupa sama gue kan? Gue Janu..”
“Basi banget sih lo, awas  gue mau pulang” hardik Kanaya, wanita ini terbiasa dengan jurus-jurus mengajak kenalan seperti ini dan itu tidak akan mempan untuknya.
“fiuh.. ternyata lo bener-benr lupa yah.. taksi.. hotel akasia.. 2 tahun yang lalu…” Ujar Januar tetap berusaha membuat Kanaya mengingatnya.
Dan sekelebat memori di kepala Kanaya melayang membuka folder 2 tahun lalu sebuah hotel dan taksi lalu wajah asing yang berebut taksi dan akhirnya menemani Kanaya menikmati lukanya. Lalu kenangan terakhir yang muncul adalah Arya.
Kanaya tersenyum.
Januar pun tersenyum yakin kalau sekarang Kanaya sudah mengingatnya.
Suasana pecel ayam malam itu agak sedikit ramai, dari tadi siang Kanaya belum makan apa-apa kepalanya penuh dengan kasus yang harus ditanganinya ini dan itu membuat rasa laparnya hilang entah kemana. Janu menatap kagum wanita dihadapannya tanpa rasa malu Kanaya melahap pecel ayamnya dengan nikmat seolah Janu adalah teman baik yang tidak memerlukan gengsi saat bersama. Rasanya bersama Janu semua terasa ajaib.
Dalam seminggu ini banyak hal-hal yang tidak terduga menghampiri Kanaya, 6 tahun menghilang dan pihak panti mencarinya lalu pria yang ditemui tanpa sengaja 2 tahun yang lalu muncul dihadapannya. Dunia memang selebar daun kelor.
Waktu bukan masalah bagi Tuhan jika dia ingin memberikan kejutan kepada hamba-Nya.
***
Kanaya dan 25% kepala keluarga bergerak cepat yang harus dilakukan hanyalah meningkatkan 25% dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada warga yang bersedia untuk digusur. Meraka hanya memiliki sedikit waktu sampai pihak lawan melakukan aksinya. Entah apa yang akan mereka lakukan yang jelas dengan tekad yang kuat Kanaya harus bergerak lebih cepat.
Mereka mendatangi satu persatu rumah warga dan mejelaskan apa yang akan mengancam lingkungan mereka jika mereka membiarkan pabrik tekstil tersebut berdiri. Dari data yang Kanaya kumpulkan ada beberapa keluhan yang dirasakan warga tempat sekitar pabrik lama PT. Goodtekstil tersebut seperti asap panas dan limbah sampah serta limbah cairan kimia yang baunya mengganggu kehidupan sehari-hari mereka.
Beberapa dari mereka ada yang menerima dengan baik apa yang kami sampaikan dan ada juga yang bersedia memikirkannya terlebih dulu sebelum memutuskan akan berada di kubu mana sedang sisa yang lainnya, yang kehidupannya begitu bersujud kepada uang tetap dengan pendirian mereka.
Drrrt,,, drrrt,,,
Sepertinya ada yang aneh, mereka sama sekali belum melakukan apa-apa
From: Janu
“Apa mereka begitu menanggap enteng masalah ini?. Benar-benar menyebalkan!!” gerutu Kanaya setelah membaca sms dari Janu.
Informasi dari Janu membuat Kanaya justru semakin khawatir, sangat aneh jika pihak lawan belum melakukan apa-apa. Dengan keberadaan Janu yang sedikit berpihak kepadanya membuat Kanaya merasa akan mampu memenangkan kasus ini. Lagipula jika bukan karena perusahaan yang mengirimnya sebagai perwakilan Janu akan dengan senang dan sepenuh hati membantu Kanaya.
Sudah dua hari dan Kanaya belum juga mendapatkan kabar dari pihak lawan itu artinya besok adalah hari penentuan sedangkan masih ada beberapa warga yang masih belum memberikan jawaban. Mereka tidak punya banyak waktu lagi. Bisakah waktu berjalan lamban? Kanaya mendesah menatap lembaran kertas ditangannya setidaknya walau hanya sedikit 25% tersebut sudah meningkat.
“Mbak Naya!!! Mbak Naya!!!”
Sinta berlari menghampiri Kanaya, nafasnya memburu dan hanya mampu melambaikan kertas kehadapan Kanaya.
“ini.. tanda tangan beberapa warga… semuanya ada 23 kepala keluarga” ucap Sinta disela-sela nafasnya yang memburu.
Kanaya mengambil kertas ditangan Sinta dan tersenyum, semua tidak sia-sia.
“Kata pak RT.. beliau masih akan mencoba membujuk beberapa warga setidaknya sampai malam nanti kita baru akan tahu hasilnya”
"Itu bagus Sin, Mbak sudah nggak sabar ingin melihat ekspresi si kepala batu itu melihat hasil kerja keras kita” ujar Kanaya.
Bukan hanya Kanaya dan seluruh penghuni panti saja yang tidak sabar menyambut hari esok, seluruh warga yang berkerja sama saling membantu pun terus memberikan dukungan kepada Kanaya. Bagi Kanaya ini adalah sebuah penghargaan bagi dirinya, disinilah wanita berhati penuh luka merasa dibutuhkan orang lain. Ada orang-orang yang selalu menanti kedatangannya dan percaya kepadanya bukan memanfaatkannya.
Kanaya menatap langit Jakarta dari teras panti, bintang yang bertabur di langit menggoda Kanaya dengan kelap-kelipnya walau hanya dengan cahaya yang nyaris redup. Malam yang dingin, angin yang berhembus juga dingin tapi tidak dengan hati Kanaya ada kehangatan yang menentramkan.
Kanaya menghirup dalam udara khas polusi Jakarta menutup matanya dan berdoa dalam hati
Tuhan yang Maha Kuasa berikanlah kepadaku kekuatan seperti Engkau memberikan kekuatan pada karang yang terhempas gelombang ombak dan kehangatan seperti mentari pagi hari yang selalu mengawali hari dengan indah. Hanya kepada-Mulah aku memohon kekuatan dan berserah diri.
Baru kali ini semenjak malam Kanaya melepaskan kepergian Tika menuju rumah suaminya tidak dapat memejamkan mata. Seluruh panti sudah lelap dalam tidur mereka yang terbuai mimpi dan mereka percaya mampu mereka wujudkan juga dalam selimut doa kepada yang Maha Kuasa yang selalu melindungi hamba-Nya.
“belum tidur Nay?”
“Aku nggak bisa tidur bu” jawabnya
“kenapa? Kamu ndak betah yah tidur di kamar bareng yang lain?” selidik Bu Aini.
“Sama sekali nggak bu, aku juga kan tumbuh besar disini masa aku nggak betah sama kampung halaman sendiri.”
“Syukurlah kalau kamu berfikir begitu, ibu khawatir kamu merasa terbebani dengan kami Nay” kekhawatiran itu terlihat jelas di wajah Bu  Aini yang sudah menginjak usia senja.
“Nggak bu, ini memang tugas aku sebagai seorang pengacara ataupun seorang anak yang wajib berbakti kepada orang tuanya dan memberikan perlindungan kepada saudaranya. Hanya ini yang mampu Nay lakukan bu jadi ibu jangan khawatir semuanya sudah Nay pikirkan matang-matang” kataku penuh keyakinan.
Kupeluk dari samping wanita penuh kasih ini memberikan kehangatan yang sedang kurasakan dalam dinginnya angin malam. Di usapnya pipiku lembut dan kehangatan itu semakin menentramkan hati.
Matahari menenggelamkan malam dalam kehangatan sinarnya. Segaris cahaya menerobos masuk melalui celah jendela seperti harapan yang tumbuh dalam keraguan. Hari masih pagi tapi Kanaya sudah terlihat sibuk di depan laptopnya mempersiapkan semuanya dengan baik. Dia tidak ingin ada kesalahan sedikitpun dalam menyelesaikan kasus ini. Beberapa info yang Kanaya dapat dari Janu harus Kanaya cek lagi kebenarannya bukan karena Kanaya meragukan Janu yang merupakan pengacara pihak lawan tapi hanya untuk lebih meyakinkan bahwa info yang Janu berikan bisa menjadi senjata yang mematikan lawan. Semua harus berjalan sempurna.
“ini bukan jebakan kan?”
“skeptik lagi.. kenapa sih lo harus kayak gitu.. ini murni bantuan gue sebagai teman tapi dengan syarat jangan sampe bos gue tahu, yah! Kalau nggak gue bakal errrrr” kata Janu sambil berakting memotong lehernya.
Hanya itu jawaban yang Janu berikan saat Kanaya bertanya mengapa Janu membantunya sementara Janu merupakan pengacara yang disewa untuk melawannya. Kanaya tidak pernah mampu menebak apa yang ada dalam pikiran Janu karena apa yang Janu katakan dan lakukan semuanya terasa spontan, tiba-tiba dan tidak terduga.
Hanya satu hari dan itu pun hanya sebentar Kanaya dan Janu bertemu hanya seseorang yang  ditemui tidak sengaja di jalan tapi dua tahun kemudian dengan sebuah kebetulan yang telah diatur Tuhan yang Maha Pengasih mereka dipertemukan lagi. Disinilah tangan Tuhan berperan dalam menentukan takdir hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini secara kebetulan semua sudah ditakdirkan Tuhan dan manusia lah yang menentukan bagaimana mereka memilih jalan untuk mencapai takdir tersebut.
Suara derap langkah kaki yang berlari menuju kamar Kanaya semakin nyata.
“Si botak udah datang mbak” kepala Sinta menyembul dari balik pintu, nafasnya masih memburu  karena berlari dari kantor panti ke kamarnya hanya untuk memberitahu kalau tuan Erick yang terhormat sudah datang.
“Ayo,, kita tendang si botak dari kampong ini” ajak Kanaya penuh semangat.
Kanaya berjalan dengan penuh percaya diri sebenarnya ada sedikit takut dalam hatinya tapi saat melihat Janu tersenyum kilat kepadanya membuatnya seperti mendapat tambahan semangat.
Erick sudah duduk dengan penuh congkak dan hanya melirik Kanaya sekilas sedangkan semua orang yang dari pihak kampong menatap Kanaya penuh harapan. Kanaya tahu tidak perlu berbasa-basi untuk menghadapi orang seprti Erick. Kanaya hanya menyodorkan lembaran tanda tangan dari warga kepada Erick tapi Erick hanya diam seperti raja yang tiak terjamah.
Janu yang pagi itu berperan sebagai dirinya sendiri, sang pengacara yang berkhianat dan memihak lawan berakting seolah dia tidak tahu apa-apa. Janu meraih lembaran yang Kanaya sodorkan membulak-baliknya.
“25% itu sudah berubah, sekarang berdasarkan tanda tangan warga yang telah setuju untuk menolak penggusuran ini  totalnya berubah dari 25% menjadi 67%. Dan berdasarkan hukum penggusuran ini bisa dibatalkan” ucap Kanaya.
Mendengar penjelasan Kanaya, Erick hanya tersenyum. Semua yang berada diruangan tersebut menunggu bagaimana reaksinya.
“Kurang dari tiga hari dan mampu membuat jarak sebanyak 42% itu mengejutkan. Ok! Kita akhiri saja sampai disini.” Ucapnya  masih dengan nada sombongnya lalu Erick bangkit dan mengulurkan tangan untuk memberikan selamat kepada Kanaya.
Awalnya Kanaya ragu tapi sesaat kemudian Kanaya menyambut tangan Erick dan menjabatnya erat. Ada senyum yang sekejap terlihat diwajah Erick saat Kanaya menjabat tangannya. Erick melangkah pergi disusul dengan asistennya dan Janu yang keluar paling terakhir.
Setelah Erick benar-benar menghilang tidak terlihat lagi seluruh orang yang ada dalam ruangan mulai bersorak gembira. Euforia ini membuat suasana haru dan bahagia yang membuncah. Tapi Kanaya justru berlari mengejar Erick.
“Tunggu!!” teriak Kanaya enghentikan langkah Erick yang hendak memasuki mobil mewahnya.
“Hanya sebuah rekomendasi tapi saya harap ini bisa membantu anda menemukan lokasi yang tepat” kata Kanaya sambil menyerahkan sebuah dokumen kepada Erick. Erick menerimanya tanpa suara dan ekspresi yang datar.
“Dan juga.. terima kasih”
Erick masuk kedalam mobil lalu meninggalkan panti dengan suasana hati yang berbeda. Tidak ada gurat kecewa karena sudah kalah malah sebuah senyum melengkung indah diwajah kakunya.
***
“Ah payah nih.. masa menang tender gue cuma ditraktir soto ayam Surabaya” keluh Janu sambil mengaduk-aduk isi soto yang tersaji dihadapannya.
“Kan lu tahu sendiri kasus ini tuh bukan job dari perusahaan gue” kata Kanaya dengan mulut penuh soto.
“iya.. iya yahu gue, mata lu biasa aja lah nggak pake melotot berapa sih?”
Mendengar protes Janu membuat senyum di wajah Kanaya merekah indah. Sungguh dimata Janu wanita ini memancarkan cahaya kesederhanaan yang kuat, sederhana dan kuat.
“By the way lu kok santai banget jadi penghianat si botak itu? Kan gitu-gitu dia yang bayar lu?” Tanya Kanaya penasaran.
“Ah nggak usah dipikirin, gue juga nggak tahu kenapa bisa gampang banget ngasih info ke pihak musuh tapi setidaknya gue kan dan cariin si botak lahan baru buat pabriknya” jawab Janu nyantai.
“Hm… jangan-jangan karena lu suka sama gue yah?”
Mendengar kalimat tersebut meluncur indah dari bibir Kanaya membuat soto yang sedang asyik dilahap Janu melesak keluar. Dan melihat hal teersebut malah membuat Kanaya tertawa terbahak-bahak karena ekspresi wajauh Janu yang lucu.
“Jangan GE-ER lu.. itu karena gue suka sama bu Aini, melihat bu Aini kayak gue ngeliat nyokap gue sendiri”
Tapi Kanaya masih tetap tertawa.
Tetaplah tertawa dan tersenyum seperti ini Nay, sungguh kamu cantik sekali.
Seminggu telah berlalu dan semua kembali pada rutinitas masing-masing, pekerjaan kantoe yang seminggu ditinggalkan Kanaya menumpuk hingga membuatnya tak bisa menikmati weekend minggu ini. Janu berulang kali mengajak Kanaya untuk pergi makan keluar tapi Kanaya selalu menolak dengan aalasan harus lembur.  Entah mengapa Kanaya menangkap perasaan berbeda dari Janu, perasaan yang selalu Kanaya coba hindari. Cinta. Perasaan cinta sudah tertinggal jauh dari hatinya, kesakitan dan kekecewaan pada perasaan bernama cinta membuat Kanaya memutuskan utuk mencintai dirinya sendiri.
Tapi terus menerus menolak ajakan Janu membuat Kanaya merasa tidak enak mengingat pertlongan yang Janu berikan padanya tempo hari.
“Minggu gue baru bisa Jan” jawab Kanaya akhirnya.
Dan suara gembira di ujung telepon sana membuat Kanaya melengkungkan senyum yang jarang dia tebarkan.
“Kalau begitu jam 10 pagi gue jemput, masalah tempat biar gue yang atur. Pokonya dijamin nggak garig deh” ujar Janu dengan suara antusias.
“Yah terserah lo dah, gue sih ikut aja”
Bagi Kanaya Janu adalah salah satu orang yang mampu mengisai hari-harinya dengan senyum meningat Janu sendiri adalah orang yang periang dan mampu mambangun suasana. Tapi hanya sebatas itu Kanya belum berani untuk merasakan perasaan terbang ke angkasa karena di mabuk cinta. Mungkin besok malam Kanaya harus menegaskan batas yang telah dia pilih untuk Janu.
Kanaya menatap aneh layar laptopnya, sebuah email masuk dengan user nama yang tidak dikenalnya. Dibukanya email tersebut dan yang membuat Kanaya tersenyum risih adalah isi email tersebut hanya berupa ungkapan “aku mencintaimu Kanaya” dari berbagai Negara.
Aku mencintaimu Kanaya
I Love You Kanaya
Aishiteru Kanaya
(ntar gue cari dulu di mbah gugel)
“orang gila!!” desis Kanaya lalu menutup laptopnya dan bergegas pulang karena sudah jam 8 malam.
Suasana kantor bisa dibilang sepi karena hanya beberapa orang saja yang bersedia lembur dimalam minggu seperti ini dan sepertinya mereka semua adalah jomblo sama seperti Kanaya. Yang mencoba menyibukan diri hanya untuk mencari alasan saat ditanya tentang pacar mereka.
“Mbak Kanaya… mbak Kanaya” suara khas yang selalu menyapa Kanaya setiap pagi memanggilnya dari pos jaga sekuriti di depan loby.
“Ada apa pak Soleh?”
“ini mbak ada kiriman bunga buat mbak sama kado ini juga buat mbak” jawab pak soleh sambil menyerahkan bunga dan kotak kado ketangan Kanaya.
“buat saya? Dari siapa pak?”
“Ndak tahu mbak, sudah yah mbak saya mau jaga pos dulu” ucap pak soleh undur diri
Kanaya melihat bunga dan ado yang ada di tangannya mencoba mencari kartu ucapan yang biasanya disematkan diantara kelopak mawar yang merekah indah tapi tidak ada apa-apa dibunga tersebut. Kanaya melanjutkan langkahnya untuk pulang dan segera ingin melepaskan lelahnya.
“email, bunga dan kado yang belun dibuka ini pasti ulah Janu, dasar iseng” batin Kanaya.
Selesai mandi dan makan malam dengan sebungkus mie instan Kanaya kembali memeriksa laporan yang tadi dikerjakannya dikantor. Walau badan dan mata sudah menuntut untuk di istirahatkan nmun kebiasaan memeriksa ulang pekerjaanya membuat Kanaya masih terjaga.
Berbagai perkara dan kasus yang masuk tidak ada yang menarik hanya tuntutan harta gono gini, pencemaran nama baik dan perebutan harta dengan mengaku sebagai ahli waris yang sah. Bukankah kasus-kasus tersebut bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan dan disinilah kerakusan sfat manusia menunjukan taringnya. Perasaan ingin memiliki membuat mereka selalu mengajukan banding karena apa yang mereka harapkan tidak sesua denan keputusan pegadilan. Dari kerakusan mereka lah Kanaya da teman-temannya bisa bekerja dan hidup
Fiuuuuh…
Kanaya membuang nafasnya panjang matanya sudah tidak mampu menatap layar laptonya lebih lama lagi dan memang sudah waktunya untuk tidur tapi langkah Kanaya terhenti saat melihat buquet bunga dank ado yang belum dibuknya tergeletak dimeja samping ranjang.
Kanaya meraih kotak berwarna krem itu dan mulai membukanya, sebuah gaun berwarna kuning gading daribahan yang Kanaya tahu tidak murah ini terlihat cantik. Ada sebuah kartu ucapan didalam kotak tersebut.
Gaun cantik untuk orang yang paling cantik
J.E.S
Kanaya meraih Handphonenya mencoba menelpon Janu setelah melihat inisial nama dalam kartu tersebut tapi urung dilakukan karena ini sudah tengah  malam.
“Dasar sinting!!” seloroh Kanaya dengan diiringi sebuah senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

karena dibuat secar otodidak jadi mohon bantuannya